“Jangan terlalu baik, nanti dimanfaatin”
Pernah mendenger kalimat atau percakapan yang intinya
tentang “jangan terlalu baik, nanti
dimanfaatin”?
Aku pribadi pertama kali mendenger saat awal-awal kuliah dan
kalimat itu diucapkan oleh saudaraku yang sudah bekerja cukup lama. Awalnya cuek karena yang mengungkapkan seorang laki-laki dimana mereka
terkadang hanya berbicara apa yang saat itu terlintas di pikirannya. Tapi ditelaah lagi,
kenapa bisa seorang laki-laki terbersit pikiran seperti itu? Apalagi dengan statusnya yang dirasa sudah cukup berpengalaman bersosialisasi di dunia nyata. Kita tahu bahwa
sikap natural mereka cuek dan rasional, bukan emosional yang berperasaan. Akhirnya
aku coba telaah dan ternyata makna kalimat itu benar bahkan artinya cukup
dalam. Saat itu aku biasa saja, karena memang aku merasa bukan pribadi yang
cukup baik dan masih labil sehingga melakukan apapun sesuai mood tanpa
memikirkan belas kasih atau sungkan. Lama-kelamaan, tumbuhlah rasa sungkan
apalagi dengan kondisi anak kosan yang terkadang membutuhkan bantuan orang
lain. Jadi saat ada teman minta tolong, tanpa pikir panjang aku akan
membantunya. Mulai saat itu lah aku terpikir kembali mengenai kata-kata
kebaikan di atas. Tetap baik dan mau membantu orang yang membutuhkan namun
tetap ada batasannya. Dimana ketika pertolongan yang diinginkan malah membuat
kita sedikit terganggu, tolak saja. Hal itu akan membuat orang lain berpikir
ulang jika mereka mau “memanfaatkan” kebaikan kita.
Selama kuliah, aku punya temen yang aku akui dia orangnya
baik, super baik malah. Dia selalu mau menolongku dan teman-temannya saat
dimintai bantuan. Meskipun sekedar menemani makan tanpa dia ikut makan. Terlalu
baiknya dia, sampai terkadang aku bilang “jangan
terlalu baik, nanti dimanfaatin”. Itu bukan tanpa alasan, beberapa kali dia
curhat yang intinya dia merasa kesal setelah menolong orang lain. Alasannya
klasik, sungkan dan kasihan.
Sampai suatu waktu dia merasa bahwa kebaikannya telah
dimanfaatkan atau bisa dibilang disalahgunakan. Bukan oleh temannya, namun
orang yang jauh lebih tua, bapak kosannya, sebut “Pak A”. Perlu diingat, beliau
ini sudah sepuh, umurnya hampir 70 tahun dan sakit sehigga membutuhkan tongkat/
krek untuk berjalan.
Salah satu kebiasaan Pak A yaitu duduk di teras sendiri
ataupun bersama istri bercengkerama memandangi tetangga sekitar. Ada
waktu-waktu tertentu untuk beliau bersantai hingga temenku, “Melati” hafal,
diantaranya pagi hari ketika dia keluar untuk berangkat kuliah, menjelang siang
hari, sore hari sebelum ashar hingga menjelang magrib, dan terkadang setelah
magrib. Sebenernya tidak ada masalah kapan beliau mau bersantai, itu hak beliau
di rumah beliau namun terkadang Melati ini merasa sungkan.
Sudah kebiasaan Melati selalu berjabat tangan dan mencium
tangan Pak A saat bertemu. Dan hal yang wajar juga ketika bertemu, beliau
bertanya sekedar menyapa, hanya pertanyaan sederhana seperti “mau kemana”. Namun
semakin lama, Melati merasa risih. Pertanyaan Pak A semakin kompleks yang
membuatnya bingung untuk menjawab. Mau menjawab jujur tapi apakah beliau
mengerti, menjawab bohong tapi itu tidak baik. Selain itu, jika tidak ada
istrinya, setelah berjabat tangan, Pak A seperti memberi kode agar si Melati
duduk menemaninya. Mungkin secara awam beliau meminta untuk menemani ngobrol
namun..... (nanti ambil kesimpulan sendiri ya setelah selesai membaca).
Lanjut lagi....
Melati yang awalnya hanya berjabat tangan dan kemudian
melepaskannya, lama-lama berubah dan bertahap. Pertama, setelah berjabat
tangan, beliau menepuk pipi Melati dengan tangan beliau. Lagi-lagi secara awam
bahkan Melati hanya berpikir seolah-olah itu perbuatan wajar yang mencerminkan
kasih sayang seorang ayah ke anaknya. Kedua, Pak A memegang lengan atas Melati
dan meremasnya (seperti orang gemas). Mulai tahap ini, Melati sudah merasa
was-was dan curiga.
Tak jarang, ketika Pak A sendiri ditinggal istrinya pergi ke
gereja, beliau sms Melati dengan dalih meminta ditemani ngobrol atau butuh
bantuan sesuatu. Dan karena sikap Melati yang baik, dia mengiyakannya dengan
alasan Pak A sudah tua dan sakit sehingga wajar kalau butuh bantuan dan
menemani ngobrol saat beliau sendirian. Ohya, Pak A ini sms Melati juga karena
sudah ada kesepakatan dua pihak. Maksudnya? Jadi dulu, saat mereka ngobrol,
Melati sempat mengatakan kalau Pak A boleh minta temani ngobrol ke Melati,
cukup hubungi lewat sms. Kenapa Melati berani berkata seperti itu? Lagi-lagi
sikapnya yang baik hanya berpikir kasihan kepada Pak A yang sudah tua dan
kesepian saat ditinggal istrinya pergi.
Akhirnya sampai pada puncak kecurigaan dan kekesalan Melati
(dan aku sebagai teman yang baik 😆). Pagi hari menjelang siang, Pak A sms
Melati dan mengatakan butuh bantuannya karena handphonenya rusak. Melati yang baik itu mengiyakan akan
menemuinya, namun sempat was-was. Melati mengiyakan karena memang alasannya
masuk akal dan saat itu pagi hari dimana dia berfikir ada istri Pak A, jadi
aman-aman saja. Pergilah dia menemui Pak A. Setelah kembali dia menangis di
kamar. Apa yang telah terjadi???
Hayo, mikirnya udah
yang negatif yaa?
Kejadiannya tidak seekstrim yang kalian bayangkan kok namun
menurut Melati (dan aku juga) itu sudah termasuk hal negatif dan di luar batas “kasih
sayang” ayah ke anak. Setelah Melati masuk ke rumah Pak A dan menanyakan handphonenya yang rusak, beliau berkilah
dengan mengatakan hanya salah klik tombol dan sudah benar. Kemudian ngobrol
sebentar dan terjadilah perbuatan yang kami anggap sudah di luar batas wajar. Akhir
cerita dia pindah kos.
Ohya, sengaja tidak aku jelaskan detail kejadian puncaknya,
karena tidak enak menuliskannya dan tentunya kasihan ke korban misal kalian
tahu siapa dia.
Udah bisa ambil pelajarannya ya dari kisah Melati ini? Tentunya
berkaitan dengan “jangan terlalu baik,
nanti dimanfaatin”.
Baik boleh, malah sangat dianjurkan, kepada semua orang,
terutama orang tua yang membutuhkan lebih. Namun tentunya ada batasan-batasannya.
Jika dirasa mengganggu kita, tolaklah. Kita tidak tau pikiran di kepala orang
yang meminta bantuan. Dan tentunya jangan tertipu dengan fisik. Jangan lantas
kita mengiyakan permintaan bantuan yang kita lihat fisiknya lemah, berpakaikan
lusuh, dsb. Bahkan di kisah Melati ini, Pak A adalah seorang yang benar-benar
sudah tua dan sakit, susah untuk berjalan dan membutuhkan alat untuk
membantunya. Namun apa? Dia bisa melakukan hal di luar pikiran.
Komentar
Posting Komentar