Nila setitik rusak susu sebelanga


Kalau tidak salah, pertama kali mendengar kalimat ini saat masih duduk di SD, mata pelajaran bahasa Indonesia mengenai peribahasa. Lupa tepatnya kelas berapa.

Awalnya masih belum seratus persen percaya dengan makna peribahasa tersebut. Masa iya sih, seseorang akan dilupakan semua kebaikannya hanya karena satu kali melakukan hal buruk, yang bisa saja itu tidak disengaja. Ya mungkin karena belum merasakan sendiri kejadiannya. Sampai pada akhir tahun 2018 kemarin, barulah menyadari kebenaran peribahasa tersebut. Butuh waktu sekitar 15 tahun untuk menyadari cintamu padaku makna dibaliknya.

Lupa tepatnya bulan apa tapi yang jelas di akhir-akhir tahun lalu, ada suatu kejadian yang dirasa menyadarkan diri ini. Tidak mengalami secara langsung sih, melainkan teman dekat. Namun tetap saja hal itu berpengaruh bagi saya karena saya pun mengenal sosok subjek dibalik peribahasa ini.

Beliau adalah seseorang yang sudah sepuh, berusia sekitar 70 tahun. Hampir setiap hari saya dan teman saya bertemu beliau karena tempat tinggal kami berdekatan. Dulunya, beliau adalah sosok yang disegani warga. Selain memiliki pekerjaan yang oke, harta yang lebih dari tetangga sekitar, beliau juga pernah menjabat sebagai salah satu tokoh masyarakat. Pernah juga mendapat informasi mengenai perilaku beliau sehari-harinya yang cukup tegas jika ada hal-hal yang tidak sesuai norma dan etika. Saat itu kami benar-benar menghargai beliau dan selalu menyapa beliau saat bertemu.

Suatu ketika, beliau melakukan perbuatan yang saya rasa tidak sopan. Kenapa disimpulkan tidak sopan? Karena teman saya lah yang menceritakan dan dia sendiri yang mengalami. Bahkan dia pun bercerita sambil menangis darah. Usut punya usut beliau melakukan hal tersebut di saat tidak ada anggota keluarganya dan dengan memanfaatkan kebaikan teman saya ini.

Sejak saat itu, saya sudah tidak lagi respect terhadap beliau. Kalaupun bertemu hanya menyapa secukupnya dan [saya rasa] dengan ekspresi wajah yang cemberut. Bahkan saat ingin keluar terkadang kami mengintip terlebih dahulu, memastikan beliau tidak ada. Kami bukan takut, hanya malas berurusan, malas bertemu, bertegur sapa, hingga menjawab pertanyaan yang selalu sama dilontarkan. Untuk apa kami takut? Toh beliau sudah sepuh dan saat ini sedang sakit. Kalau pun beliau melakukan hal yang mengancam diri saya, cukup gunakan kekuatan fisik atau paling tidak berteriak. Setidaknya akan ada warga sekitar yang mengetahui dan menolong.

Pengalaman lain yaitu pernah saya ngefans seseorang lawan jenis, lebih senior, fisik oke, dan berbakat fotografi (selalu pegang kamera di setiap agenda). Berawal dari yang benar-benar tidak tahu apapun tentang dia, namanya siapa, kuliah jurusan apa, dan bahkan bingung harus kepo lewat apa. Bagaimana bisa kepo kalau namanya pun tidak tahu. Sebenarnya bisa sih tanya teman tapi takut dianggap apa-apa dan malah menjadi bahan gosip. Maklum ya wanita...

Suatu hari, saat browsing suatu agenda dengan membaca informasi di suatu web, terpampanglah wajah dia lengkap dengan namanya, maklum panitia acara tersebut. Sejak saat itu saya tahu namanya dan ternyata kakak tingkat saya di kampus, beda satu tahun. Masa-masa awal ngefans ini pun biasa saja, bahkan kami tidak pernah bertemu di kampus.

Selanjutnya, dapat informasi kurang baik tentang si doi beliau dari teman terpercaya saya. Seperti biasa, saya tidak mudah percaya di awal. Namun akhirnya percaya karena banyaknya fakta-fakta yang diungkap teman saya ini. Nah, sejak saat ini lah saya merasa tidak respect lagi, tidak ngefans lagi.

Fyi, hal aneh terjadi. Setelah saya merasa biasa saja, entah kenapa malah menjadi sering bertemu dengan beliau. Bahkan pernah duduk dengan satu meja yang sama. Tentunya meja besar dengan beberapa kursi mengelilingi. Biasanya, kalau ngefans kita akan merasa deg-degan, canggung, dan bisa jadi salah tingkah saat berada di posisi seperti itu. Saat itu saya biasa saja, malahan cuek. Kenapa? Ya karena mind set jelek saya tentang beliau sudah terbentuk.

Dari dua pengalaman di atas, saya pun mengambil pelajaran bahwa kita harus selalu berusaha untuk berbuat baik. Kapan pun dan dimana pun. Karena seberapa banyak perbuatan baik kita jika suatu saat melakukan perbuatan buruk, orang lain akan selamanya menganggap kita sebagai orang yang tidak baik. Saat itu juga mereka lupa dengan banyaknya perbuatan baik yang pernah kita lakukan.

Ya, berbuat baik itu memang susah tetapi paling tidak kita tetap selalu berusaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.A.L ♥ Bu Rini

Senam Lansia